Dalam
kajian sosiologis, kelompok keagamaan adalah buah dari gerakan sosial, sehingga
perilaku yang timbul dari individu di dalamnya sarat dengan simbol-simbol
agama. Persoalannya adalah sejauhmana peranan simbol-simbol agama yang ilahi (heavenly) itu mengejawantah dalam
ranah sosial, ketika kelompok mayoritas dan minoritas dari berbagai agama yang
berbeda saling bergaul dalam suatu masyarakat, dan ketika masing-masing simbol
tadi yang berbeda saling bersentuhan secara intens.
Untuk
menjawab persoalan itu, Puslitbang Kehidupan Beragama Bidang Hubungan Antar
Agama melakukan Studi tentang Kelompok Minoritas Keagamaan di Beberapa Daerah, yang
terdiri dari: Muslim di Jayapura, Kupang dan Denpasar – Katolik di Mataram –
Protestan di Pangkal Pinang – Hindu di Kapuas – dan Budha di Pontianak. Secara
khusus kajian ini bertujuan menghimpun berbagai informasi dan aspirasi tentang
: 1) Kehidupan sosial kelompok masyarakat setempat; 2) Komunikasi internal
kelompok minoritas; 3) Komunikasi antar kelompok minoritas dan mayoritas
keagamaan; 4) Potensi Kerukunan; 5) Potensi Konflik; dan 6) Rekomendasi tindak
lanjut.
Kajian ini menggali data melalui
langkah-langkah seperti; telaah literatur (penelusuran dokumentasi), laporan
kajian serta berita media massa terkait, wawancara dengan para nara sumber, dan
pengamatan lapangan terbatas. Bertolak dari kenyataan lapangan secara empirik,
informasi, aspirasi serta situasi yang ditelaah, peneliti berupaya menangkap
suatu proses atau temuan. Kemudian mencatat, mengklasifikasi, mengkomparasi,
menganalisis, menginterprestasi, dan menarik kesimpulan-kesimpulan pokok yang
bersifat umum dan menyeluruh. Kajian ini lebih menekankan pada makna yang
ditangkap dari berbagai peristiwa, perilaku, kebijakan, pemikiran serta
kenyataan yang ditemui (Kualitatif).
Temuan
kajian yang menjadi pendukung perdamaian:
1. Komunikasi
internal Muslim di Jayapura Papua, Kupang dan Denpasar sangat terbantu oleh
beragam kegiatan sosial keagamaan seperti pengajian, ceramah keagamaan,
khutbah, tahlilan, yasinan, kunjungan silaturrahmi, upacara selamatan upacara
daur hidup (life cycle),
pertemuan kelompok di tempat ibadah, Majelis Taklim, peringatan hari besar
keagamaan, organisasi dan partai politik kegamaan (Islam), lembaga pendidikan,
kelompok paguyuban, baik di tempat-tempat pemukiman, tempat kerja dan
sentra-sentra ekonomi.
2. Integrasi
dan kerukunan internal kelompok Muslim setempat relatif terjalin baik. Hal
tersebut ditopang oleh faktor-faktor seperti besarnya pengaruh tokoh-tokoh
Muslim, frekwensi dan efektivitas forum-forum sosial keagamaan, serta jumlah
umat yang relatif kecil sehingga lebih mudah dibina. Khusus kelompok Muslim
minoritas di Jayapura (atau Papua), yang umumnya terdiri dari para pendatang
dari berbagai etnis, kerukunan internal sangat dipengaruhi oleh peran sentral
dan hubungan baik para tokoh organisasi paguyuban yang dominan di bidang
ekonomi dan di bidang publik di samping pengaruh dan peran para tokoh agama.
Semangat dan perasaan senasib dan seperantauan (diaspora) di kalangan pendatang Muslim di Jayapura, sangat
menonjol, khususnya setelah kerusuhan bernuansa etnis antara masyarakat
pendatang dengan masyarakat asli Papua tahun 2000 silam.
3. Tak
banyak berbeda dengan kelompok Muslim, komunikasi internal di kalangan kelompok
minoritas Katolik di Ampenan, kelompok Protestan di Pangkal Pinang, Hindu di
Kapuas dan kelompok Budha di Pontianak, berlangsung melalui berbagai aktifitas
rutin keagamaan di lingkungan kelompok dengan bimbingan tokoh agama
masing-masing, di tempat-tempat ibadah, pemukiman, asosiasi-asosiasi
kekerabatan, dan dalam berbagai kegiatan sosial kemanusiaan. Integrasi kelompok
terbina tanpa banyak hambatan antara lain karena jumlah anggota relatif kecil,
fokus pembinaan lebih diarahkan kedalam (internal), sikap tidak saling
mengganggu dan kepatuhan kepada pemerintah dan tokoh agama.
4. Komunikasi
antara kelompok minoritas dengan mayoritas pada umumnya berlangsung normal dan
rukun. Walaupun sesekali ada hambatan-hambatan, masih dapat dikendalikan.
Berbagai faktor yang menguntungkan dan menopang terciptanya kondisi dan suasana
yang rukun meliputi : a). Adanya saling ketergantungan antar
kelompok dalam upaya pemenuhan kebutuhan, b). Penggunaan bahasa Indonesia dan
keterikatan dalam NKRI, khususnya di Jayapura, c). Hubungan baik antar tokoh
dan adanya forum-forum lintas agama, etnis serta profesi, d) Sikap menahan diri
dan menyesuaikan diri kelompok minoritas terhadap aspirasi mayoritas dan
kearifan budaya lokal, e) Otonomi daerah yang memberikan peran sentral kepada
Pemda setempat, f). Ajaran agama dan fokus pembinaan lebih terarah pada
pembinaan kelompok internal, g). Ikatan kekerabatan, kekeluargaan dan kerjasama
lintas etnis dan budaya serta profesi.
Sedangkan,
aspek-aspek yang berpotensi dan dapat mengganjal upaya integrasi dan kerukunan
antara lain:
1. Adanya
aspirasi dan kehendak sebagian tokoh setempat untuk melepaskan diri dari NKRI
di Papua.
2. Adanya
aspirasi sementara tokoh Kaharingan untuk melepaskan diri dari Kelompok Hindu
di Kapuas.
3. Perilaku
penodaan agama (Hostia) yang sesekali muncul di lingkungan kelompok Katolik di
Kupang (NTT).
4. Keluhan
masih adanya kesulitan mendirikan tempat ibadah dan kuburan bagi masyarakat
Muslim.
5. Fenomena
praktek KKN yang masih menggejala serta upaya penegakan hukum yang tumpul.
6. Sentimen
kesukuan dan kedaerahan cenderung makin kental.
7. Kesenjangan
kehidupan ekonomi dan sosial antara kelompok minoritas pendatang yang relatif
lebih baik dibandingkan dengan rata-rata kelompok mayoritas yang merupakan
masyarakat setempat.
Dari itu, beberapa
rekomendasi dari kajian ini adalah perlunya mengefektifkan forum-forum lintas
agama, etnis dan profesi, dengan kalangan masyarakat lebih luas seperti lembaga
perguruan tinggi, media massa, pengusaha, kawula muda dan kelompok perempuan,
sampai ke tingkat kecamatan dan pedesaan. Dari forum ini digalakkan dialog yang
menonjolkan tema-tema yang menyangkut kepentingan kemanusiaan yang universal
dalam rangka pencarian titik-titik temu oleh masing-masing kelompok umat
beragama. Sehingga setiap komponen masyarakat bisa saling belajar mengenai
sendi-sendi keberagamaan orang lain. Ini nantinya membuka peluang untuk saling
mengerti dan menjelmakan suasana nyaman dan kondusif buat kerukunan. (Mursyid Ali).